Saudagar Kaya Raya itu akhirnya menjelang ajal nya. Dipenghujung umurnya, begitu banyak yang sudah dilakukannya. Sebuah kerajaan bisnis raksasa telah dibangunnya. Ribuan orang bekerja dan mencari nafkah dari usaha-usaha dagang yang dimilikinya hingga manca Negara. Kini saatnya untuk meninggalkan kehidupan dunia nya dan menghadap Sang Khalik. Tinggal satu tugas lagi yang harus dilakukannya. Mempersiapkan Putera nya untuk meneruskan apa yang sudah diperjuangkannya.
Putera Saudagar menghadap Ayahandanya dengan tertunduk. “Wahai putera ku…” Sang Saudagar berkata lirih. “Apakah aku sudah mengajarkan seluruh ilmu perdaganganku kepada mu?”. Sang Putera mengangguk. “Apakah kamu yakin bisa melaksanakan apa yang dahulu pernah aku lakukan?” Sang Putera menjawab “Jika Tuhan mengizinkan, saya yakin bisa…”. Sang Saudagar tersenyum, “Kalau demikian, ketahuilah, bahwa aku sudah menyerahkan seluruh harta yang dititipkan kepadaku, untuk dibagikan kepada fakir miskin di seluruh negeri…” . Sang Saudagar menghela nafas pelan “Mengertilah anak-ku, aku tidak ingin harta titipan ini membebani kehidupanku di akherat kelak …”
Sang Putera terpana tidak percaya dengan apa yang didengarnya, namun tidak membantah karena memahami kebenaran ucapan Ayahnya. “Wahai Puteraku… Setelah pemakamanku, Engkau akan pergi dari rumah ini dengan tidak membawa sedikitpun harta yang sesungguhnya diamanatkan kepadaku…” Sang Saudagar menggenggam erat tangan Putera nya.” Namun aku mewariskan sebuah buku catatanku yang paling berharga, buku ini berisi 3 rahasia supaya Engkau bisa menjalani kehidupan ini lebih baik dari yang aku lakukan”.
Saudagar tua itupun mangkat. Dan Putera Saudagar hanya mewarisi satu buah buku catatan kecil yang teramat tipis. Sesuai amanat, Sang Putera segera meninggalkan rumah mewah Ayahnya ketika pemakaman sudah dilaksanakan. Sang Putera yang dulu hidup mewah, kini harus hidup seperti gelandangan, dari satu kampung ke kampung lain, menjual jasa sebagai kuli dan buruh kasar sekedar untuk menyambung hidup. Pupus sudah harapan untuk hidup nyaman sebagaimana kehidupan sewaktu Ayahnya hidup kelak..
Di tengah malam yang dingin, tidur di sebuah gudang milik majikan yang memberikan pekerjaan sebagai buruh, Putera Saudagar teringat dengan buku warisan Ayahnya. Dibuka perlahan buku lusuh tadi dan dibaca halaman pertama yang ternyata hanya berisi dua kata:
“Jangan Takut”
Jangan Takut? Jangan Takut? Hanya itu? Inikah buku berharga itui? Dilemparkannya buku lusuh tadi ke dalam koper tua nya dengan marah… Putera Saudagar malam itu tdk bisa memejamkan mata nya. Pikiran nya dipenuhi dengan amarah atas kata-kata yang tertulis di buku warisan Ayahnya. Seolah Ayahnya ingin mentertawakan nasib nya dari alam baka sana… Berbagai pemikiran datang silih berganti. Muncul pertanyaan: Benarkah Saya tidak takut? Kalau benar, mengapa kemarin dia tidak berani menyampaikan pendapat ketika melihat usaha pertanian majikannya yang sangat tidak efisien? Mengapa ia terdiam ketika majikan nya meminta nya berpendapat? Barangkali Aku memang takut … Demikian kesimpulan Sang Putera. Takut mengambil tindakan.
Keesokan hari nya, Putera Saudagar memberanikan diri untuk menghadap majikan nya. Dengan berani, Ia menyampaikan betapa hasil ladang pertanian milik majikan nya dapat ditingkatkan 5 – 10 kali lipat jika menerapkan cara-cara yang modern. “Kalau setelah ini aku dipecat biarlah, yang penting aku sudah berani melakukan sesuatu…” Demikian kata Sang Putera dalam hati.
Tidak disangka Sang Majikan senang bukan kepalang dengan pemikiran-pemikiran Putera Saudagar. Segera Majikan menunjuk Putera Saudagar menjadi tangan kanan nya untuk melaksanakan gagasannya. Bayaran dan fasilitas baru pun diterimanya. Dan terbukti, dalam hitungan bulan pertanian Sang Majikan maju pesat dan menjadi yang terbaik di wilayahnya.
Sang Putera kini memiliki kehidupan yang jauh lebih baik. Sang Majikan meminjami rumah yang layak, kendaraan dan penghasilan yang cukup. Namun, Sang Putera paham, bahwa bukan ini tujuan nya. Ia ingin menjadi seperti Ayahandanya dulu, Sang Saudagar. Maka sekali lagi dikerahkan keberaniannya untuk mengusulkan diri menjadi agen penjualan hasil pertanian majikan nya di kota lain. Sang Majikan yang yakin dengan kemampuan Sang Putera setuju. Dan berangkatlah Sang Putera ke kota besar terdekat untuk berdagang hasil pertanian dari mantan majikan nya… Dalam hati kecil nya Sang Putera berkata “Aku tidak takut!”.
Tiga hingga enam bulan pertama perdagangan berjalan baik. Namun pada bulan ketujuh, bencana datang. Pertanian Sang Majikan diserbu hama. Pasokan ke Sang Putera di kota besar pun terhenti total. Sementara Sang Putera memiliki kontrak untuk memasok ke toko-toko besar kota tersebut. Karena gagal menyerahkan barang, seketika habis-lah usaha Sang Putera, pelanggan hilang kepercayaan kepadanya. Sang Putera pun harus menghadapi kenyataan.. Usaha nya berakhir. Mungkin bukan takdirnya berdagang? Sang Putera sudah bersiap untuk kembali ke Majikan nya yang lama, atau mencari majikan baru.
Terpekur sendirian, Sang Putera kembali teringat buku warisan Ayahnya. Dibongkarnya kembali koper tua nya. Dan kembali dibaca nya buku tipis tadi. Halaman pertama: “Jangan Takut”. Ya, aku tidak takut… Dengan bergetar dibaliknya halaman kedua, yang juga berisi dua kata:
“Jangan Menyerah”
Bagai disambar petir membaca 2 kata tadi. Ya! Hampir dia menyerah. Baru mendapat satu cobaan dalam usaha, sudah terpikir untuk menyerah. Tidak sabar untuk segera melakukan sesuatu, dikembalikan buku tipis Ayahnya kedalam koper dan segera keluar meninggalkan persembunyiannya.
Hari itu, Sang Putera pergi ke kota pertanian lain terdekat yang jauh dari wabah hama. Melalui koneksi yang sudah terbangun sebelumnya, ditemuinya petani paling besar dan disepakatinya perjanjian untuk menjadi agen produk pertanian di kota nya. Kemudian dilakukannya hal yang sama di kota-kota pertanian lain. Juga ditemuinya ahli-ahli pertanian untuk mendapatkan cara penanggulangan hama, dan dikirimkannya ahli-ahli tadi ke mantan Majikannya. Masalah pasokan mulai teratasi, lalu ditemuinya pelanggan-pelanggan yang sudah memutuskan kontrak, dan diyakinkannya bahwa kini ia memiliki pasokan yang lebih terjamin, dan dengan harga yang lebih baik.
Satu bulan upaya tersebut dilakukan meski belum membuahkan hasil secara financial. Tapi, lambat laun order kembali datang. Pasokan berjalan lancar, bahkan Sang Putera bisa menyalurkan produk pertanian untuk kota-kota lain yang membutuhkan. Dalam tiga bulan, usaha perdagangan hasil pertanian nya sudah melampaui perdagangan sebelum bencana datang. Karyawan baru direkrut, kantor di kota-kota lain pun mulai dibangun nya.
Dalam setahun, Sang Putera sudah menjadi pedagang besar hasil pertanian dengan Kantor di lima kota yang berbeda. Kalau dulu ia harus kesana kemari mencari peluang, kini peluang yang mendatangi nya. Toko-toko besar kini meminta nya menjadi pemasok berbagai produk pertanian. Sebagai pedagang, Sang Putera hanya menikmati margin keuntungan dari harga yang diberikan Petani.
Dengan penjualan yang semakin besar, terpikirlah untuk membuka lahan pertanian sendiri. Toh dia berpengalaman mengelola pertanian majikannya dulu. Dengan dukungan pinjaman dana bank yang sangat besar, maka dibelilah lahan diseputar kota untuk dijadikan perkebunan. Dan kini Sang Putera tidak hanya menjadi perantara, tapi juga penghasil produk pertanian. Kontrak dengan petani pemasoknya? Ah, mudah saja diputuskan sepihak.
Tidak sampai disitu, pinjaman dana bank kembali dikucurkan untuk membuka toko-toko sendiri. Jadi kini di lima kota Sang Putera memiliki dari lahan pertanian hingga pertokoan yang menjual hasil pertaniannya sendiri.. Dalam posisinya sekarang dengan mudah Sang Putera menolak untuk memasok ke toko pesaing.
Sang Putera pun kini bisa memainkan harga sekehendak sendiri. Ditekannya harga serendah-rendah nya untuk mengalahkan toko pesaing. Tak dinyana, toko-toko pesaing bereaksi dengan menekan harga juga. Perang harga pun tidak dapat dielakkan. Dan toko Sang Putera maupun toko pesaing pun lambat laun tidak dapat bertahan. PHK mulai dilakukan, kualitas produk mulai tidak terjaga, dan ditinggalkan pelanggan. Karena permintaan jatuh, ladang2 pertanian pun terkena akibatnya. Terkadang hasil pertanian harus dimusnahkan karena tidak tersalurkan. Sementara, hutang bank mulai harus dibayar..
Dengan arus kas negatif. Sang Putera tak mampu membayar pinjaman… Bank pun mengirimkan debt koletor, menagih dengan cara halus maupun kasar. Karyawan mulai harus di PHK, pelanggan, pemasok dan mitra usaha mulai meninggalkan. Usaha Sang Putera kembali ke titik nol, bahkan negatif.
Tertegun Sang Putera mengemasi barang nya yang hanya tinggal sebuah koper tua. Dibukanya dan diambilnya buku lusuh Ayahnya. Dibaliknya dua halaman pertama, dan di halaman ketiga tertera dua kata:
“Jangan Serakah”
Ya! Betapa ia telah serakah. Ingin menguasai juga rizki yang tadinya menjadi hak orang lain. Ia porak porandakan kerjasama dengan mitra-mitra usaha, demi mendapatkan lebih banyak. Tapi kini usahanya sudah ada di titik nol. Harus bagaimana? Kemudian ia teringat halaman pertama dan kedua yg berbunyi: “Jangan Takut”, dan “Jangan Menyerah”…
Segera ia menghubungi Bank nya. Dinegosiasikannya pola pembayaran baru. Ditawarkannya likuidasi asset yang tidak produktif untuk membayar sebagian hutang, dan untuk modal memulai usaha perdagangan yang baru. Dihubunginya kembali petani-petani yang dulu menjadi pemasoknya. Sang Putera bicara dari hati kehati dan mengakui kesalahannya, dan menawarkan kesepakatan baru. Toko-toko yang sempat terguncang mulai bangkit lagi dan memerlukan pemasok. Sang Putera menawarkan pasokan baru dengan jaminan kualitas, kuantitas dan harga yang baru.
Perbankan mempercayai usulan Sang Putera, dan satu dua toko menyetujui penawarannya. Usaha mulai menggelinding sekalipun sangat perlahan. Hanya waktu yang bisa membuktikan dan menyembuhkan. Kepercayaan kepada Sang Putera tidak diberikan begitu saja, namun harus diraihnya meski perlahan. Dalam satu tahun, usaha perdagangan Sang Putera pulih. Kewajiban ke bank mulai terbayar dan bank mulai berani memberikan pinjaman kembali. Dalam 3 tahun, usaha Sang Putera jauh lebih besar. Sepuluh kota kini dalam jangkauannya. Sistem perdagangan sudah terbangun dengan baik, dan Sang Putera tinggal menikmati kerja keras nya.
Dibuka nya kembali buku lusuh warisan Ayahnya. Sebuah buku catatan tipis. Ia tahu Ayahnya bukan orang terpelajar, dan ia tidak pernah berharap buku tadi berisi teori bisnis. Buku tadi hanya berisi Tiga Kalimat. Tiga rahasia yang telah menyelamatkan dia dari kehancuran. Buku tipis yang akan diisinya dengan catatan-catatannya sendiri di halaman-halaman berikutnya, dan kelak akan diteruskannya kepada anaknya. (FR).
* Cerita dalam Moti-Fiction ini imajinasi saja, meski terinspirasi bbrp kejadian nyata...
dari tangandiatas.com